Tekad Bangsa Papua : Merdeka dari Kolonialisme dan Militerisme, Itu Perintah konstitusi |
Fito: Willem Wandik/Untuk Bangsaku/KM |
Aktivis Papua,(KM) – Para pemimpin nasional setelah era Bung Karno
seharusnya kembali merefleksikan perintah Konstitusi dan amanah
penderitaan rakyat, yang menjadi roh/ jiwa/ mentalitas berbangsa, yang
mengilhami pergerakan revolusi kemerdekaan 45 terhitung sejak 69 tahun
silam. Sepertinya sepeninggal Bung Karno, semangat anti kolonialisme di
bumi Nusantara secara perlahan menghilang tanpa jejak, dan berganti
dengan ideologi “Kepentingan-Kepentingan” para penguasa yang justru
menjadi rujukan, iman, dan kitab suci dalam menjalankan konsitusi
bernegara.
Sebagai pengingat akan konsistensi Bung Karno dalam melawan kolonialisme bagi semua bangsa-bangsa di dunia, berikut ini pekikan dari setiap nafas, ideologi, cita-cita, tentang kemerdekaan bagi semua bangsa yang terekam dalam pembukaan (preambule) UUD 1945:
Sebagai pengingat akan konsistensi Bung Karno dalam melawan kolonialisme bagi semua bangsa-bangsa di dunia, berikut ini pekikan dari setiap nafas, ideologi, cita-cita, tentang kemerdekaan bagi semua bangsa yang terekam dalam pembukaan (preambule) UUD 1945:
( P r e a m b u l e )
Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak
segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan
di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai
dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.
Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan
Indonesia telah sampailah kepada saat yang
berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan
rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan
Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat,
adil dan makmur.
Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa
dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya
berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat
Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaanya.
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu
Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia
dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,
maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia
itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara
Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan
Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan
rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha
Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan
Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan,
serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Idealisme tentang semangat anti penjajahan yang melahirkan semangat
anti-imperialisme dalam konstitusi UUD 1945, pada hari ini telah
menghilang dalam kebijakan penguasa nasional. Para penguasa di Jakarta,
membuat keputusan sepihak seolah-olah suara bangsa Papua dengan tetesan
air mata dan tumpahan darah yang terus menerus menjadi wajah inequality
di Tanah Papua, tidak memiliki arti apa-apa di mata mereka.
Bahkan terdapat kelompok yang merasionalisasi keputusan Pusat, dengan mengatakan “untung Indonesia masih diberi kesempatan oleh Amerika untuk membangun Smelter di Indonesia“. Lalu bersamaan dengan legitimasi penguasa Pusat, segala bentuk penderitaan bangsa Papua yang menjadi pemilik sah atas seluruh sumber daya alam Papua, dinafikan begitu saja, dengan dalih “ini belas kasihan Amerika“.
Para penguasa Jakarta justru telah menghianati prinsip-prinsip yang tertuang secara tegas dalam konstitusi negara ini. Mereka terus membiarkan dan bahkan ikut serta memperkuat kolonialisasi dengan legitimasi “Kekuasaan” dan “Militeristik” , dengan terus menerus membiarkan penjajahan atas sumber daya alam di Tanah Papua dan memelihara pembantaian bangsa Papua dengan dalih memelihara kepentingan Investasi.
Penguasa Jakarta bukanlah dalam posisi tidak berdaya menghadapi kepentingan asing, sebab negeri ini memiliki kedaulatan sebagai sebuah bangsa yang merdeka, dan dapat menentukan sikap yang didasarkan pada kehendak rakyat. Namun, para penguasa tersebut, lebih memilih untuk menyandera negara dengan “Kepentingan-Kepentingan” diri mereka sendiri, bahkan turut serta menjajah bangsa Papua.
Politik sentralisasi pembangunan merupakan karakteristik dari bangsa yang serakah. Keserakahan tersebut terkonfirmasi dengan sikap Penguasa Jakarta yang sebenarnya telah mendapatkan peluang untuk melakukan renegosiasi terhadap seluruh kepentingan Freeport di Tanah Papua, namun pilihan political will penguasa Jakarta jatuh kepada “Transaksi-Transaksi” kepentingan mereka sendiri, untuk terus menguasai arus kapital yang besar di Tanah Papua.
Distribusi pembangunan dan penguatan sendi-sendi ekonomi di Tanah Papua harus lebih di perkuat oleh Pusat, jika tidak ingin semakin mengalami kehilangan kepercayaan dari bangsa Papua. Namun dalam prakteknya, justru Pemerintahan Pusat menjauhkan unsur-unsur terpenting dalam penguatan pembangunan dari Tanah Papua, dan justru memperkuat pembagunan di daerah lain.
Negara Kesatuan Republik Indonesia pernah memiliki historis dalam masa-masa awal pergerakan revolusi kemerdekaan. Pada masa itu, kekuatan elemen rakyat terkonsolidasi untuk menentang penjajahan “kolonialisme“. Dihari ini historis tersebut terulang kembali dalam pergerakan elemen bangsa Papua untuk meminta dimerdekakan dari segala bentuk “miniatur kolonialisme” di Tanah Papua, yang ditandai dengan sentralisasi penguasaan sumber daya alam dan operasi militer yang terus menerus menumpahkan darah bangsa Papua.
Benarkah Indonesia memandang bangsa Papua sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia? bukankah sebagai bagian dari tubuh yang satu, setiap rasa sakit yang dirasakan oleh salah satu organ tubuh yang bernama bangsa Papua, menjadi rasa sakit yang sama dirasakan oleh bagian tubuh lainnya?
Lalu mengapa Pemerintah pusat masih terus saja membiarkan rasa sakit itu terus dirasakan oleh bangsa Papua? saat ini ditengah-tengah dinamika sosial warga bangsa Papua, telah bermunculan konsepsi dan keinginan yang luhur untuk menghentikan segala bentuk penindasan di bumi Papua, namun apakah Pemerintah Pusat juga turut merasakannya?
Jika Negara Kesatuan yang menjadi ideologi Republik Indonesia benar-benar ada, lalu kemana rasa empati saudara-saudara terhadap rasa sakit yang dirasakan oleh bangsa Papua? atau jangan-jangan kalian sedang berpura-pura menyebut sebagai satu bangsa Nusantara, untuk sekedar menjajah dan merampok sumber kemandirian dan kekuatan sumber daya alam milik bangsa Papua.
Entah yang namanya “ideologi“, “visi atau cita-cita berbangsa“, “NKRI“, “Bhineka Tunggal Ika“, tidak akan berguna dihadapan rakyat dan bangsa Papua, jika praktek bernegara yang kalian tampilkan hanyalah sandiwara atau fatamorgana. Ucapan yang manis didengarkan oleh telinga, tetapi berdampak buruk, sangat buruk, dan lebih buruk lagi terhadap posisi bangsa Papua dalam segala dimensi kepentingan.
Praktek bernegara yang hanya menampilkan kepura-puraan, dan banyak bersandiwara, menyimpan banyak intrik busuk untuk terus menerus menggunakan berbagai macam alibi, untuk membenarkan setiap kebijakan yang secara terang-terangan melemahkan posisi bangsa Papua.
Apa arti integrasi bagi bangsa Papua, jika tujuan keadilan dan pemerataan kesempatan dalam pembangunan dan mencapai kesejahteraan bersama, justru dijauhkan dari Tanah dan bangsa Papua? (Man/KM)
Bahkan terdapat kelompok yang merasionalisasi keputusan Pusat, dengan mengatakan “untung Indonesia masih diberi kesempatan oleh Amerika untuk membangun Smelter di Indonesia“. Lalu bersamaan dengan legitimasi penguasa Pusat, segala bentuk penderitaan bangsa Papua yang menjadi pemilik sah atas seluruh sumber daya alam Papua, dinafikan begitu saja, dengan dalih “ini belas kasihan Amerika“.
Para penguasa Jakarta justru telah menghianati prinsip-prinsip yang tertuang secara tegas dalam konstitusi negara ini. Mereka terus membiarkan dan bahkan ikut serta memperkuat kolonialisasi dengan legitimasi “Kekuasaan” dan “Militeristik” , dengan terus menerus membiarkan penjajahan atas sumber daya alam di Tanah Papua dan memelihara pembantaian bangsa Papua dengan dalih memelihara kepentingan Investasi.
Penguasa Jakarta bukanlah dalam posisi tidak berdaya menghadapi kepentingan asing, sebab negeri ini memiliki kedaulatan sebagai sebuah bangsa yang merdeka, dan dapat menentukan sikap yang didasarkan pada kehendak rakyat. Namun, para penguasa tersebut, lebih memilih untuk menyandera negara dengan “Kepentingan-Kepentingan” diri mereka sendiri, bahkan turut serta menjajah bangsa Papua.
Politik sentralisasi pembangunan merupakan karakteristik dari bangsa yang serakah. Keserakahan tersebut terkonfirmasi dengan sikap Penguasa Jakarta yang sebenarnya telah mendapatkan peluang untuk melakukan renegosiasi terhadap seluruh kepentingan Freeport di Tanah Papua, namun pilihan political will penguasa Jakarta jatuh kepada “Transaksi-Transaksi” kepentingan mereka sendiri, untuk terus menguasai arus kapital yang besar di Tanah Papua.
Distribusi pembangunan dan penguatan sendi-sendi ekonomi di Tanah Papua harus lebih di perkuat oleh Pusat, jika tidak ingin semakin mengalami kehilangan kepercayaan dari bangsa Papua. Namun dalam prakteknya, justru Pemerintahan Pusat menjauhkan unsur-unsur terpenting dalam penguatan pembangunan dari Tanah Papua, dan justru memperkuat pembagunan di daerah lain.
Negara Kesatuan Republik Indonesia pernah memiliki historis dalam masa-masa awal pergerakan revolusi kemerdekaan. Pada masa itu, kekuatan elemen rakyat terkonsolidasi untuk menentang penjajahan “kolonialisme“. Dihari ini historis tersebut terulang kembali dalam pergerakan elemen bangsa Papua untuk meminta dimerdekakan dari segala bentuk “miniatur kolonialisme” di Tanah Papua, yang ditandai dengan sentralisasi penguasaan sumber daya alam dan operasi militer yang terus menerus menumpahkan darah bangsa Papua.
Benarkah Indonesia memandang bangsa Papua sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia? bukankah sebagai bagian dari tubuh yang satu, setiap rasa sakit yang dirasakan oleh salah satu organ tubuh yang bernama bangsa Papua, menjadi rasa sakit yang sama dirasakan oleh bagian tubuh lainnya?
Lalu mengapa Pemerintah pusat masih terus saja membiarkan rasa sakit itu terus dirasakan oleh bangsa Papua? saat ini ditengah-tengah dinamika sosial warga bangsa Papua, telah bermunculan konsepsi dan keinginan yang luhur untuk menghentikan segala bentuk penindasan di bumi Papua, namun apakah Pemerintah Pusat juga turut merasakannya?
Jika Negara Kesatuan yang menjadi ideologi Republik Indonesia benar-benar ada, lalu kemana rasa empati saudara-saudara terhadap rasa sakit yang dirasakan oleh bangsa Papua? atau jangan-jangan kalian sedang berpura-pura menyebut sebagai satu bangsa Nusantara, untuk sekedar menjajah dan merampok sumber kemandirian dan kekuatan sumber daya alam milik bangsa Papua.
Entah yang namanya “ideologi“, “visi atau cita-cita berbangsa“, “NKRI“, “Bhineka Tunggal Ika“, tidak akan berguna dihadapan rakyat dan bangsa Papua, jika praktek bernegara yang kalian tampilkan hanyalah sandiwara atau fatamorgana. Ucapan yang manis didengarkan oleh telinga, tetapi berdampak buruk, sangat buruk, dan lebih buruk lagi terhadap posisi bangsa Papua dalam segala dimensi kepentingan.
Praktek bernegara yang hanya menampilkan kepura-puraan, dan banyak bersandiwara, menyimpan banyak intrik busuk untuk terus menerus menggunakan berbagai macam alibi, untuk membenarkan setiap kebijakan yang secara terang-terangan melemahkan posisi bangsa Papua.
Apa arti integrasi bagi bangsa Papua, jika tujuan keadilan dan pemerataan kesempatan dalam pembangunan dan mencapai kesejahteraan bersama, justru dijauhkan dari Tanah dan bangsa Papua? (Man/KM)
Oleh : Willem Wandik, S.Sos
adalah Mantan MPR periode 2009-2014
adalah Mantan MPR periode 2009-2014
0 comments:
Post a Comment