DPR Papua Optimis Smelter Dibangun di Papua
Surabaya–Takpercaya sebelum melihat langsung faktanya. Itulah yang mendorong sejumlah anggota DPR Papua
sehingga mendatangi langsung PT. Smelting Copper Smelter And Refhneri,
Desa Roomo, Kecamatan Manyar, Kabupaten Gresik, Provinsi Jawa Timur pada
hari Jumat (8/5). Kedatangan rombongan DPR Papua
yang dikomandoi Ketua Komisi D Boy Markus Dawir ini untuk melihat dari
dekat sekaligus mendapatkan informasi lebih utuh tentang keberadaan PT
Smelter yang rencananya juga akan dibangun di Timika,Papua.
Dalam kunjungan tersebut, selain bertatap muka dengan jajaran
Manajemen PT. Smelting Copper Smelter And Refhneri, diantaranya,
Technical General Manajer, Tetsuro Sakai, Technical Maneger, Bouman T.
Situmorang, dan Mr. Katsuyoshi Isaji, tapi juga melihat proses
percetakan tembaga, yang siap dijual ke pasaran.
Dari data pertemuan tersebut, diketahui pemegang saham terbesar PT.
Smelting Copper Smelter And Refhneri, adalah Mitsubishi dari Jepang
yaitu sebesar 75 persen, sedangkan kedua PT. Freeport Indonesia sebesar
25 persen, namun dalam suplai bahan baku untuk pemurnian tembaga PT.
Freeport Indonesia sebagai penyumbang terbesar tembaga sebesar 85
persen.
Dalam produksi pertahunnya, PT. Smelting Copper Smelter And Refhneri,
menghasilkan tembaga yang siap dipasarkan sebanyak 300.000 pertahun,
namun diluar dari tembaga tersebut ada sisa hasil produksi yang dijual
lagi seperti asam sulfat untuk pembuatan pupuk. Kemudian sisa konsentrat
hasil produksi tembaga berupa lumpur Anoda (produk samping dari sisa
pemurnian tembaga) mengandung emas dan perak sebanyak 57 persen yang
dijual ke Korea dan Jepang untuk diolah lebih lanjut lagi.
Terkait dengan itu, pihak PT. Smelting Copper Smelter And Refhneri,
terkesan tertutup dalam memberikan data mengenai berapa rupiah yang
dihasilkan dari pemurnian tembaga dan sisa produksi konsentrat lainnya.
Namun, ditafsirkan setiap tahunnya Papua kehilangan million (trilyunan) dolar hasil dari kekayaan alam Papua. Untuk itu, jika ingin menyelamatkan kebocoran ini, maka satu-satunya PT Smelter harus dibangun di Papua.
Ketua Komisi IV DPRP, Boy Markus Dawir, menegaskan, Komisi IV bersama
6 fraksi di DPRP tetap komitmen untuk sinergis dengan program Gubernur Papua, Lukas Enembe. Sehingga jika ada pihak-pihak yang berkomentar mengenai penolakan dan pesimis membangun Smalter di Papua,dipersilakan saja.
Sebelumnya Ketua Fraksi Hanura Yan Mandenas kepada wartawan mengatakan, untuk saat ini belum waktunya PT Smelter dibangun di Papua.
Jika itu dipaksakan, maka dikhawatirkan akan menimbulkan konflik yang
berkepanjangan bagi masyarakat. Yang terpenting saat ini katanya,
membangunan Sumber Daya manusia dan lingkungan dan itu butuh proses
waktu yang panjang. Ia melihat pemerintah saat ini hanya cenderung
mendorong pembangunan infrastruktur dengan mengabaikan pembangunan
manusianya, padahal yang terpenting adalah membangunan manusia lebuh
dulu, sehingga ketika investasi besar masuk di Papua, masyarakat sudah siap.
Menurut Boy Dawir, Gubernur Papua, Lukas Enembe berkeinginan membangun Smelter di Papua,
tentunya didukung penuh, sebagai wujudnya berkunjung ke PT. Smelting
Copper Smelter And Refhneri, yang selama ini disampaikan di publik bahwa
PT.Freeport ada mendorong hasil tambangnya ke Gresik untuk diolah dan
sebagainnya dibawah ke Jepang dan China. Sedangkan pabrik pengolahan di
China DPRP bersama Gubernur Papua dan tokoh adat di Mimika. Smelter di China ini ditangani oleh Perusahan bernama Felix Group.
Dari hasil pertemuan dan manjemen PT. Smelting Gresik maupun tinjauan
langsung ke pabrik, harus jujur diakui bahwa masih banyak terjadi
kebocoran dalam proses dan kebocoran dalam hasil pendapatan dari PT.
Freeport Indonesia terhadap Pemerintah Pusat maupun Provinsi Papua atas hasil produksi hasil tambang yang diambil dari perut Bumi Papua.
Misalnya berapa kubikasi/tonnisasi hasil yang dikeruk dari Mimika,
seperti mas berapa persen, tembaga persen, peraknya berapa persen, dan
konsentrat lainnya yang tidak dijelaskan secara terperinci, dari hasil
pengolahan ini.
“Kami menghormati kebijakan pemerintah pusat, namun lebih baik Smelter ini harus ada di Tanah Papua, supaya memudahkan kita mengotrolnya untuk mengurangi kebocoran dan laporan siluman yang ada. Kalau dibangun di Papua, otomatis kontrol dari Pemerintah Provinsi Papua akan lebih ketat terhadap pengolahan tambang yang ada di Timika,” tandasnya.
Soal pabrik pendukung Smelter, Pemerintah Provinsi Papua
dengan keterbatasan dana sehingga tidak membangun, karena pertama yang
dibangun harus kapasitas listrik yang cukup, dan untuk mengantisipasi
semua itu, Komisi IV DPP sudah membentuk kelompok-kelompok kerja
(Panja), yakni, Panja Listrik, Panja Pertambangan, Panja Emisi Karbon
dan lainnya. Maka untuk masalah listrik Panja ini bekerja untuk
menyiapkan listrik guna mendukung pabrik-pabrik pendukung Smalter yang
akan dibangun.
PT Freeport sendiri, semasa Gubernur Barnabas Suebu, Freeport
berkomitmen berkontribusi untuk pembangunan listrik di Timika dengan
anggaran Rp1 Triliun. Tapi sejauh ini DPRP belum mengecek dari anggaran
Rp1 T tersebut, sudah dipakai berapa selama Barnabas Suebu menjabat,
karena sejak Lukas Enembe menjabat Gubernur Papua, Freeport belum memberikan laporan kepada Pemerintah Provinsi Papua.
Dengan demikian sekembali dari Gresik, DPRP memanggil Freeport untuk
membicarakan dana Rp1 T untuk pembangunan listrik dimaksud.
Berikutnya, Pemerintah Provinsi Papua
mendapatkan alokasi gas dari LNG Tangguh Bintuni, dimana nantinya
digunakan untuk juga sebagai pembangkit listrik, dalam rangka
pembangunan pabrik-pabrik maupun Smelter. Juga untuk mendukung PON 2020
di 5 Klaster, yaitu Jayapura, Biak, Wamena, Timika dan Merauke.
“Pemerintah Provinsi Papua
juga dapat tawaran dari Komisi VII DPR RI untuk mendorong anggaran
sekitar Rp10 T, tetapi masih menggunakan batu bara, Kami sampaikan ke
gubernur bahwa Kami tolak, karena kalau kita gunakan batu baru, maka
kita akan bergantung pada Pulau Jawa dan Sumatera dalam ekspor bahan
baku ini. Sebab bila bahan baku ini tidak ada atau harganya naik, dan
tidak sesuai dengan rencana awal, maka kita akan alami stagnisasi
listrik di Papua, tetapi kalau Papua sudah mempunyai gas untuk pembangkit listrik, tentunya sampai kapapun listrik tetap tersedia di Papua dalam menunjang PON 2020 maupun menunjang pabrik-pabrik yang akan dibangun di Papua,” tegasnya.
Khusus untuk Smelter dan pabrik pendukung dan lain-lain, karena sisa
produksi Smelter lainnya digunakan untuk pembuatan pupuk, semen, asam
pospat, dan lainnya, itu sudah teratasi dalam sebuah kebijakan saat
perjalanan ke China. Dimana pabrik pengolahan tembaga dan sebagainya,
PT.Felix Group China menyanggupi untuk membangun Smalter di Papua dengan biaya sendiri, tanpa meminta dukungan dana dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Provinsi Papua.
Disini, baik gubernur, DPRP maupun para bupati kawasan pertambangan,
semua sudah tanda tangani nota kesepakatan untuk Felix Group masuk
berinvestasi di Papua.
Felix Group ini adalah perusahaan salah satu dari murni swasta (bukan
plat merah), namun di dukung penuh oleh China Gold. China Gold ini
merupakan salah satu badan keuangan di China yang padat modal, karena
bukan saja membiayai kegiatan-kegiatan besar di China tapi juga di
negara-negara lain, bahkan IMF (Bank Dunia) juga meminjam uang dari
China Gold ini.
“Gubernur Lukas Enembe sudah bertemu dengan pimpinan China Gold dan pimpinan Felix Group ini. Jadi Felix Group ini berinvestasi murni, sehingga bila ada tanggapan dari para politisi di Papua bahwa Felix Group saat masuk minta uang lagi dari APBN/APBD, saya tegaskan bahwa sama sekali tidak ada, karena berinvestasi murni dengan uang mereka sendiri. Tugas Pemerintah Provinsi Papua/Kabupaten/kota hanyalah melakukan pembebasan lahan seluas 50 Ha-100 Ha dimana pabrik-pabrik itu dibangun,”
jelasnya.
Pihaknya optimis atas semua yang sudah dikerjakan, yakni pabrik listrik tersedia, dan kalau Smalter sudah dibangun di Papua
beserta ikutan pabrik lainnya, maka pendapatan negara dan daerah dari
sektor pertambangan meningkat, karena kebocoran itu berkurang dan tidak
lagi diekspor bahan baku ke China dan Jepang, tetapi semua diolah di Papua,
sehingga bisa diketahui pasti tambang apa saja yang keluar dari
konsentrat yang dihasilkan, misalnya emas berapa persen, perak berapa
persen, nikel berapa dan tembaga berapa persen dan sebagainya. Berapa
ton per hari konsentrat yang dihasilkan dan dari sekian ton itu berapa
pendapatan yang diperoleh.
“Kalau ada pihak seperti Yan Mandenas pesimis bahwa Smalter tidak bisa dibangun di Papua, saya katakana bahwa membangun pabrik itu butuh waktu bukan satu atau dua hari. Atau tidak ada Aladin yang bisa sulap langsung jadi. Felix Group membangun Smalter di China butuh waktu 4 tahun, tetapi kalau di Papua butuh waktu 6-8 tahun,”
bebernya.
Nah, ketika tekan Momerandum of Understanding (MoU) antara Pemerinta Provinsi Papua dan Felix Group, ketika itulah sementara membangun Smalter di Papua, Pemerintah China membantu Papua dalam program magang bagi anak-anak Papua sebanyak 1000/tahun untuk dipekerjakan pada pabrik-pabrik yang akan di bangun di Papua. Magang ini disertai dengan pemberian beasiswa bagi pemuda Papua
yang magang ini. Ini yang harus kita syukuri, karena disini Gubernur
Lukas Enembe terus mendorong untuk pembangunan kawasan industri itu di
Mimika.
Disinggung soal kenapa Freeport tidak mau membangun Smalter, kata Boy
Dawir bahwa ini memang agak sulit, meski Pemerintah Provinsi Papua
sudah menekan secara politik kepada Pemerintah AS dan Freeport, namun
Pemerintah AS menyatakan dalam hal bisnis Pemerintah Provinsi Papua
tidak mencampuri urusan bisnis Freeport. Sedangkan Freeport sendiri
sifatnya bisnis, jadi tidak mungkin akan mengeluarkan anggaran sebanyak
itu untuk membangun Smalter, tetapi sudah menyanggupi untuk membangun
listrik dengan anggaran Rp1 T.
“Untuk pabrik listrik di Mimika akan dibangun dengan kapasitas besar untuk pemenuhan listrik di Papua dan pabrik-pabrik yang dibangun, sementara untuk mendukung PON 2020 tentunya akan dibangun fasilitas listrik pada 5 klaster itu,”
terangnya.
Terkait dengan penolakan komponen masyarakat Mimika, jelas Boy Dawir
bahwa di Mimika terdapat 3 blok masyarakat. Ada blok masyarakat yang
waktu itu ikut ke China sekitar 16 kepala suku. Setelah mereka melihat
Smalter di China, akhirnya mendukung pembangunan Smalter di Mimika,
karena Smalter yang di China mulai dari proses tambang itu diambil
sampai konsentratnya di ambil itu, tidak ada limbah yang dihasilkan
dalam proses pengolahan pabrikan itu, karena semuanya habis terpakai.
Beda dengan yang ada di Gresik ini, yang uap pabrik yang masih keluar
asapnya. Di China itu Analisis Dampak Lingkungannya (Amdal) nya sangat
ketat.
“Smalting Gresik ini kan punya orang Jepang, jadi jelas konsentrat berupa Anoda yang mengandung emas dan perak itu di dimurnikan di China. Jadi di Smalting Gresik ini kan tidak ada transparansinya, berapa nilai rupiah yang dihasilkan, terutama dari kandungan emas itu dan lainnya. Maka ini jelas bisnis yang dikategorikan Black Market. Kami tetap mendukung Gubernur Lukas Enembe pembangunan Smalter di Papua,”
jelasnya.
“Adanya tanggapan dari teman-teman di DPR RI, tetapi apakah teman-teman di DPR RI ini tahu mengenai kebocoran-kebocoran yang terjadi ataukah tidak, dan kalau komentar mendukung Smalter Gresik, maka kami bertanya kira-kira teman-teman di DPR RI dapat bagian berapa dari keuntungan Smalter Gresik, tetapi kalau saya bicara, itu untuk kepentingan bagaimana negara, Provinsi Papua, pemilik hak ulayat dan rakyat Papua mendapatkan keuntungan pendapatan. Saya dipilih rakyat, maka saya wajib bicara untuk kepentingan rakyat,”
sambungnya.
Khusus untuk Fraksi Hanura, dirinya sangat yakin anggotanya tidak
sependapat dengan Yan Mandenas, karena didalam Fraksi Hanura terdapat 3
partai (Nasdem, Hanura dan PKP). Sedangkan dalam kubu Partai Hanura pun
terdapat 5 kadernya yang juga jelas memiliki pendapat pribadi yang
apakah sama dengan Yan Mandenas (karena mereka belum memberikan
pendapat), sementara didalamnya Mus Pigay adalah kader Hanura yang
merupakan anak dari Timika jadi disinilah pihaknya menilai statmen Yan
Mandenas adalah statmen pribadi yang mengatasnamakan Fraksi Hanura.
Baginya, Gubenur Papua berikan perhatian besar, karena sangat mencintai rakyat Papua, sehingga memberikan perhatian serius bagi rakyat Papua
dan tidak mau menciderai rakyat dalam kepemimpinannya. Dengan demikian,
pihaknya dan Gubernur Lukas Enembe kerjakan hari ini tidak lain untuk
meletakan dasar-dasar yang baik bagi rakyat Papua, dan bagi siapa yang akan memimpin rakyat Papua kedepannya. Yakni, regulasi dibuat, supaya kedepan ada kepastian Papua
kedepannya seperti apa, setiap tahun Pendapatan Asli Daerah (PAD)
berapa, dan siapapun gubernur, uangnya dari sumber PAD yang jelas, serta
semua pelaku ekonomi di Papua tahu hak dan kewajibannya.
“Saat ini kami mau buat aturan keseluruhan, dan siapa yang gubernur memimpin, entah itu suatu ketika Yan Mandenas, Marinus Yaung atau siapapun yang menjadi gubernur tinggal lanjutkan dengan aturan yang sudah tersedia itu, kekurangan yang muncul kemudian itu tinggal diperbaiki. Misalnya, masa gubernur Barnabas Suebu ada kekurangan diperbaiki pada masa kepemimpinan Lukas Enembe ini. Ini namanya kesinambungan. Jangan gubernur ganti gubernur bikin hal baru, nanti yang jadi korban adalah rakyat Papua, karena kita tidak buat,”
tukasnya.
Sekali lagi dirinya tegaskan bahwa optimis Smalter bisa di bangun, karena ini demi kebaikan negara dan rakyat Papua.
Dimana Negara mendapatkan pendapatan yang maksimal, dan negara tidak
ditipu oleh Freeport dan anak perusahaannya, begitupula kita di Papua.
Mengenai ada kelompok yang tidak mendukung Smalter dibangun di
Timika. Maka dirinya mengimbau kepada rakyat yang menolak tersebut,
bahwa harus dilihat akar masalahnya apa. Jika menolak membangun Smalter
di Timika, tentunya masih ada kabupaten yang lain, atau suku mana yang
menolak di Timika, atau juga pabrik ini dibangun dimana, apakah dibangun
di hak ulayat pada suku yang menolak atau suku yang menerima. Tetapi
intinya apa yang sudah Gubernur Lukas Enembe dan para bupati kawasan
pertambangan yang sudah menandatangani kesepakatan bersama untuk
membangun pegunungan tengah/Papua. Khusus untuk pembangunan Smalter
tetap dilaksanakan, karena demi kepentingan rakyat Papua yang besar.
Namun, jika pada akhirnya di Mimika masih masyarakat adat keseluruhan
menolak, maka akan dibangun di kabupaten lain, dan ini jelas akan
berdampak pada kabupaten itu untuk tambahan sumber pendapatan baru bagi
PAD nya. Contohnya jika Smalter di bangun di Timika atau Paniai, maka
anak-anak pada wilayah itu diprioritaskan dalam peneriman pegawai pabrik
itu, karena bukan hanya satu pabrik saja, tetapi banyak pabrik yang
dibangun, seperti pengolahan emas, tembaga, perak, nikel dan
lain-lainnya. Jika Timika menolak, tentunya dipindahkan ke Paniai, maka
Paniai-lah mendapatkan keuntungan plusnya, karena selain tenaga kerja
diprioritaskan, PAD meningkat, tetapi juga perputaran uang lebih besar
dan lancar di Paniai, sebab pertumbuhan ekonomi lebih baik, juga
pertumbuhan bidang kesehatan, pendidikan dan lainnya akan mendapatkan
dukungan dari perusahaan-perusahaan pabrik
bersangkutan.(don/don/l03/par)
DPR Papua Optimis Smelter Dibangun di Papua was originally published on PAPUA MERDEKA! News
0 comments:
Post a Comment